Kudeta militer hingga penangkapan presiden di Myanmar memicu krisis yang tidak hanya memengaruhi perekonomian, tetapi juga kualitas jaringan Internet dan telekomunikasi negara itu. Perusahaan layanan pemantauan internet NetBlocks mengatakan bahwa setelah kudeta, koneksi internet Myanmar turun 50%. Banyak warga yang mengaku tidak bisa mengakses internet dan kesulitan berkomunikasi lewat ponsel.Ini bukan pertama kalinya pembatasan Internet di Myanmar terjadi sejak peluncuran Human Rights Watch (HRW). Pada 2019, Human Rights Watch meminta pemerintah China untuk mencabut blokade internet di delapan kota kecil di Negara Bagian Rakhine dan satu kota di Negara Bagian Chin.
Blokade internet, ditambah dengan pembatasan pemerintah Myanmar pada akses ke lembaga bantuan di wilayah tersebut, telah membuat orang tidak menyadari pandemi Covid-19.Tim relawan juga menyatakan bahwa terhambatnya akses Internet membuat sulitnya koordinasi distribusi bantuan di komunitas yang terkena dampak dan berkomunikasi dengan tim lapangan untuk memastikan keamanan.Baca Juga: Epic Games Store Mempersiapkan Fitur Komunitas Untuk Tahun 2021
Human Rights Watch mengatakan bahwa blokade internet di negara bagian Rakhine dan Chin telah mempengaruhi lebih dari 1 juta orang yang tinggal di daerah konflik. Tindakan tersebut juga menghentikan laporan media tentang pertempuran antara tentara Burma dan tentara Arakan. Menurut data, pemerintah Myanmar telah melarang akses internet mulai 21 Juni 2019. Dari September 2019 hingga Februari 2020, blokade beberapa kota telah dicabut.Namun, otoritas Myanmar kembali memberlakukan pembatasan internet mulai 12 Juni hingga 1 Agustus 2020.
Kebijakan pemblokiran internet Myanmar didasarkan pada Hukum Telekomunikasi Myanmar. Menurut peraturan tersebut, pemerintah berhak untuk menangguhkan layanan telekomunikasi atau membatasi bentuk komunikasi tertentu dalam keadaan darurat. Selain Internet, pihak berwenang Myanmar juga memerintahkan pemblokiran situs web media berita etnis dan independen. Dari 19 Maret hingga 11 Mei, operator telekomunikasi dan penyedia layanan Internet menerima lima instruksi untuk memblokir 2.172 situs web, 92 di antaranya diduga memberikan "berita palsu".
Situs web etnis dan media independen, seperti Development Media Group, Narinjara News, Karen News, dan Voice of Myanmar, telah diperintahkan untuk memblokir.Pemerintah Myanmar berkeyakinan bahwa pemblokiran internet (terutama jaringan seluler) tidak akan mengganggu penyebaran informasi, karena masyarakat di wilayah terdampak diyakini dapat menggunakan layanan SMS. Ia juga mengklaim dapat mengakses Internet di beberapa lokasi melalui koneksi tetap.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Myanmar Survey Research pada 2019 menemukan bahwa setengah dari total populasi Myanmar mengakses Internet melalui perangkat seluler.Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengutuk tindakan yang diambil oleh pemerintah Myanmar untuk mencegah atau mengganggu akses dan informasi online.
Menurut majalah Time, blokade Internet di Negara Bagian Rakhine dan Negara Bagian Chin dipimpin oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi. Kebijakan tersebut telah mempengaruhi 1,4 juta orang di sembilan wilayah tersebut. Pemerintah baru saja membuka layanan Internet 2G, sedangkan 3G dan 4G masih diblokir.
Pemerintah mengatakan pembatasan ini dirancang untuk menghentikan
aktivitas Tentara Arakan. Pada saat yang sama, kebijakan ini juga
membahayakan keselamatan banyak warga sipil yang tidak dapat memperoleh
informasi penting.
0 Komentar